ARTIKEL KEIKHLASAN






BAB I

Keikhlasan Dalam Al-Qur'an

“Sesungguhnya, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik)....”
(az-Zumar [39]: 2-3)


Kita ambil contoh dua orang manusia. Asumsikanlah bahwa mereka berdua diberikan kesempatan yang cukup di dunia ini untuk merasakan kesenangan dari Allah dan bahwa mereka telah diberitahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka memenuhi tugas-tugas dan kewajiban agama hingga hari kematian mereka dan menghabiskan hidup mereka sebagai muslim yang taat. Mereka sukses dalam berbagai bidang. Memiliki pekerjaan yang bagus, keluarga yang harmonis, dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat. Jika orang ditanya, siapakah yang paling sukses di antara kedua orang tersebut, mereka mungkin menjawab, “Orang yang bekerja lebih keras.” Akan tetapi, jika jawaban ini diperhatikan dengan saksama lagi, kita akan menyadari bahwa definisi-definisi sukses tersebut tidak berdasarkan Al-Qur`an, tetapi atas dasar kriteria duniawi.

Menurut Al-Qur`an, bukanlah kerja keras, bukan kelelahan, bukan pula mencapai penghormatan atau cinta dari orang lain yang disebut sebagai kriteria keunggulan, melainkan keyakinan mereka akan Islam, amal baik yang mereka kerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan niat baik mereka yang terpelihara dalam hati. Itulah yang disebut kriteria yang unggul di hadapan Allah. Allah menyatakan hal ini di dalam Al-Qur`an,

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj [22]: 37)

Sebagaimana disebutkan di atas, amalan yang dilakukan seseorang dengan menyembelih seekor binatang karena Allah, akan dinilai-Nya bergantung pada ketaatan atau rasa takutnya kepada Allah. Daging atau darah bintang apa pun yang disembelih dengan menyebut nama Allah itu tidak ada nilainya di hadapan Allah jika amalan tersebut tidak dilakukan karena Allah. Di sinilah, faktor-faktor pentingnya adalah niat baik dan keikhlasan kepada Allah saat menjalankan suatu perbuatan atau peribadatan kepada Allah. Karena itu, seorang manusia tidak akan meningkat kemuliaannya di mata Allah hanya karena amal, ibadah, sikap, dan kata-kata baiknya. Tentu saja semua itu adalah perbuatan yang harus dilakukan seorang muslim sepanjang hidup mereka untuk mendapatkan balasan yang besar di hari pembalasan. Akan tetapi, faktor terpenting yang harus diperhatikan saat memenuhi semua perbuatan itu adalah tingkat kedekatan yang dirasakan seseorang dengan Allah. Yang penting bukanlah banyaknya perbuatan yang kita lakukan, melainkan bagaimana seseorang berpaling kepada Allah dengan kebersihan dan keikhlasan hati.

Keikhlasan berarti memenuhi perintah Allah tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi atau balasan apa pun. Seseorang yang ikhlas akan berpaling kepada Allah dengan hatinya dan hanya ingin mendapatkan ridha-Nya atas setiap perbuatan, langkah, kata-kata, dan do’anya. Jadi, ia benar-benar yakin kepada Allah dan mencari kebajikan semata. Menurut Al-Qur`an,

“... Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)

Dalam banyak ayat Al-Qur`an, ditekankan agar perbuatan baik itu dilakukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Akan tetapi, beberapa orang berusaha untuk mengabaikan kenyataan ini. Mereka tidak pernah berkaca pada kebersihan niat di dalam hati mereka saat melakukan suatu pekerjaan, memberi nasihat, menolong orang, atau berkorban. Mereka percaya bahwa perbuatan mereka sudah cukup, dengan menganggap bahwa mereka telah menunaikan tugas agama. Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan kepada kita tentang mereka yang berusaha sepanjang hidupnya, namun sia-sia. Jika demikian halnya, mereka akan dihadapkan pada situasi berikut ini di hari pembalasan.

“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan.” (al-Ghaasyiyah [88]: 2-3)

Karena itulah, manusia akan menghadapi satu dari dua situasi tersebut di hari akhir. Dua orang yang telah mengejar pekerjaan yang sama, mencurahkan usaha yang sama, dan bekerja dengan kebulatan hati yang sama sepanjang hidup mereka, bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda di hari akhir. Mereka yang membersihkan dirinya akan dibalas dengan kebahagiaan surga yang memikat, sedangkan mereka yang meremehkan nilai keikhlasan saat berada di dunia ini akan mengalami penderitaan neraka yang tiada akhir.

Di dalam buku ini, kita akan mengacu pada dua aspek keyakinan yang mengubah perbuatan yang dilakukan seseorang menjadi berarti dan bernilai dalam pandangan Allah, yakni dengan pembersihan diri dan keikhlasan. Buku ini bertujuan untuk mengingatkan mereka yang gagal menjalani hidup mereka hanya untuk keridhaan Allah, mengingatkan bahwa semua usaha mereka sia-sia. Karena itu, buku ini mengajak mereka untuk membersihkan diri mereka sebelum datangnya hari pembalasan. Sebagai tambahan, kami juga ingin—sekali lagi—mengingatkan semua orang beriman bahwa pikiran, perkataan, atau perbuatan apa pun yang dapat mengurangi keikhlasan seseorang, memiliki konsekuensi yang besar karena konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul di hari akhir. Karena itulah, kami ingin menunjukkan semua jalan untuk menjaga keikhlasan mereka dengan cahaya yang ditebarkan oleh ayat-ayat Al-Qur`an.

BAB II

1.2. Keikhlasan Dalam Beribadah



A. QS Al An’am [6]: 162-163 tentang Salat, Ibadah, Hidup, dan Mati Hanya untuk Allah
Artinya: “162. Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. 163. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am : 162-163)
Kandungan
Surat Al-An’am ayat 162-163 sering dibaca pada bacaan iftitah shalat karena ayat ini bermakna sebuah pengakuan terhadap kekuasaan Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Kita mengakui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya zat yang patut dan wajib disembah, karena yang lain tidak ada yang bisa menandingi kekuasaan Allah SWT.
Kandungan Surat Al An’am ayat 162 – 163, antara lain:
1. Semua aktivitas kehidupan, baik berupa ibadah khusus seperti shalat, zakat, puasa dan ibadah umum seperti muamalah, bahkan kehidupan dan kematian hendaknya kita serahkan kepada Allah semata
2. Tidak ada yang dapat menyamai Allah
3. Hendaknya kita hanya berserah diri kepada Allah

B. QS Al Bayyinah [98]: 5 tentang Perintah Menyembah Allah dengan Ikhlas



Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah : 5)
Kandungan
Surat Al Bayyinah ayat 5 memiliki beberapa kandungan, antara lain:
1. Manusia diperintahkan untuk menyembah hanya kepada Allah SWT
2. Memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran kemusyrikan
3. Manusia diperintahkan mendirikan shalat dan zakat
4. Menyembah kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan adalah agama yang benar dan lurus
Menjalankan ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah dengan penuh keikhlasan, seperti dalam menjalankan perintah shalat yang tepat pada waktunya dengan khusyuk serta lengkap dengan rukun dan syaratnya.
Kata ikhlas secara harfiah berarti murni, suci, atau bersih. Menurut istilah, ikhlas adalah melakukan ibadah dengan tulus hati dan semata-mata mengharap rida Allah swt.

BAB III


1.3. Keikhlasan dalam Bekerja

Oleh: Melfi Abra

Kadang-kadang kita merasa tersiksa dengan pekerjaan kita. Tapi saya pikir kita tak perlu tersiksa dengan pekerjaan itu. Caranya adalah akuilah dalam lubuk hati kita bahwa pekerjaan kita adalah kewajiban kita. Kewajiban kita tentunya tidak harus dikerjakan orang lain. kalau pekerjaan kita dikerjakan oleh orang lain, maka itu artinya kita menjadi orang yang tidak bertanggungjawab atas kewajiban kita.

Ada beberapa sebab orang merasa tidak enjoy dan tersiksa dengan pekerjaannya:

1. Karena bekerja dengan pamrih, yakni mengharapkan sesuatu, mulai dari hal-hal yang kecil seperti pujian, bahkan sampai pada hal yang mendasarkan seperti kebutuhan hidup. Kemudian yang diharapkan itu tidak didapatkan dalam pekerjaan, maka seseorang akan merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya.
2. Merasa terbebani dengan pekerjaannya. Itu biasanya karena malas
3. Karena ketidakmampuan
4. Karena faktor lingkungan yang tidak mendukung, baik lingkungan fisik seperti suasana kerja, lingkungan keluarga, dan faktor-faktor psikologis lainnya.

Solusi yang mungkin bisa membantu kita adalah:

1. Jika faktor pertama yang menjangkiti anda, maka jadikanlah pekerjaan anda sebagai sesuatu yang dilaksanakan dengan hati nurani, ibadah dan keikhlasan. Buang rasa pamrih anda. Ada atau tidak ada pujian, ada atau tidak ada uang yang akan anda peroleh dari pekerjaan itu, anda kerjakanlah dengan profesional dan dengan hati nurani… maka ia akan terasa ringan.. Niatkanlah bahwa keikhlasan itu adalah pengabdian anda pada Tuhan.
2. Jika faktor kedua, yang menyebabkan anda tersiksa dalam pekerjaannya, maka buanglah rasa malas anda jauh-jauh dan niatkan berja adalah ibadah
3. Kalau karena ketidak mampuan, anda harus belajar dan membaca buku atau aturan terkait, atau cari tahu dari situs-situs terkait dengan pekerjaan anda.
4. Jika faktor keempat yang menyebabkan anda tidak enjoy… anda diminta untuk untuk mampu memilah-milah perasaan psikologis anda untuk tidak larut dalam keadaan lingkungan yang tidak mendukung suasana kerja anda. Anda harus ingat bahwa seorang hidup tidak akan selalu dalam kenyamanan. Suasana bathin yang ada alami adalah dalam rangka pendewasaan diri. Seseorang tidak akan pernah lulus dan naik kelas tanpa melalui ujian…!

Nah… mari kita coba bekerja dengan hati nurani dan keikhlasan, kalau ada hasilnya dari pekerjaan itu, kita anggap sebagai efek samping dari kewajiban yang kita lakukan… bukan tujuan utama… tapi pekerjaan adalah kewajiban yang mesti kita kerjakan dengan ikhlas dan profesional. Rasakan sensasi bila anda ikhlas dan enjoy dalam bekerja…! Jangan anda terkungkung dengan pekerjaan anda sendiri.

BAB V

KESIMPULAN

Allah SWT telah menciptakan manusia begitu sempurna dan melalui ciptaan-NYa, Allah akan memperlihatkan tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya pada mahluk di muka bumi ini. Sebagai mana Allah SWT berfirman :

“ Akan perlihatkan kepada mereka tanda- tanda kekuasaan Kami di ufuk-ufuk dan di dalam diri-diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa Al-Quran adalah benar “ (QS. Al-Fushilat:53) .

Acap kali manusia lupa akan asal kejadiaanya, sehingga mereka tidak malu-malu untuk menyombongkan diri dihadapan Sang Pencipta.

Sifat sombong dan berbangga diri akan membawa manusia lupa akan dirinya sendiri sehingga mereka akan jauh dari Allah SWT.

Yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri karena itu mengenal diri adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan anak manusia. Untuk mengenal Sang Pencipta maka kita terlebih dahulu mengenal diri kita. Kita sering tercebak dengan pengertian mengenal diri hanya sebatas pengertian yang harfiah yaitu pengertian fisik belaka bukan pemahaman yang bersifat hakiki. Mengenal diri dalam arti yang sebenarnya adalah masalah dimensi rohani dari kehidupan manusia. Kita tidak mengenal apa yang ada dalam batin kita yaitu sesuatu yang unik, karena sesuatu itu kita bisa marah, sedih, gembira, lapar, haus dan juga merasakan kebutuhan biologis.

Untuk mengenal sesuatu yang unik itu terlebih dahulu kita harus mengenal diri yang disebut dengan ma’rifatun-nafs.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang ma’rifatun-nafs, salah satu dari ayat yang membahas ma’rifatun-nafs terdapat dalam surat Al-Hasyr, dimanan Allah SWT berfirman :

“ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik “ ( QS 59: 19 )

Pada Ayat tersebut Allah mengatakan jika manusia lupa akan Sang Pencipta maka manusia lambat laun akan jauh dari Sang Khaliq dan akhirnya manusia lupa akan dirinya.

Kalau manusia sudah lupa akan asal kejadiannya maka qolbunya akan kotor sehingga dengan mudah bisikan syetan merasuk ke hatinya, dan mendorong manusia melakukan pererbuatan yang melanggar perintah Allah. Bila manusia tidak dapat mengendalikan qolbunya maka dia akan kehilangan sifat-sifat baiknya. Kehilangan sifat baik pada diri manusia akan membuat manusia menjadi hewan. Jika manusia telah memiliki karakter hewan maka manusia akan berubah menjadi binatang buas dengan sifat-sifat yang tercela dan tidak selayaknya di anut oleh manusia. Karena kerusakan qolbu ini membuat manusia berubah dari fitrahnya, akan menjadikan mereka manusia-manusia yang hina dan mempunyai sifa-sifat : serakah, tamak, korupsi, tidak amanah, selalu mengumbar hawa nafsu dan banyak lagi perbuatan yang merusak kesucian Roh. Akhirnya mereka akan termasuk orang-orang yang fasik dan merubah predikat yang telah di berikan oleh Allah SWT padanya yaitu manusia berakhlaq baik. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur'an surah At-Tin : " Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya......" ( QS.95 : 4 )

Agar kita tidak termasuk orang-orang yang lupa diri maka kita harus banyak mengingat Allah dengan jalan memperbanyak dzikirullah. Kita senantiasa harus membentengi Qolbu dari ngodaan Iblis yang selalu ingin mengajak umat manusia ke dalam golonganya dengan cara mendekatkan diri pada Allah SWT. Qolbu kita harus selalu dijaga dan dibersihkan dari kotoran-kotoran penyakit qolbu, karena dengan hati yang bersih maka qolbu akan mudah menerima Nur Ilahi. Pengertian hati ada dua makna, makna pertama daging berbentuk sanubar dan terletak pada bagian kiri dada, dimana didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Dalam ilmu kedokteran disebut organ hati. Kalau sebatas makna itu saja maka manusia sama dengan hewan, karena hewanpun mempunyai organ hati. Makna kedua tentang hati adalah sesuatu yang halus ( lathifah ) dan tidak kasat mata, juga tidak dapat diraba. Hati dalam makna kedua ini lebih banyak bersifat rabbani ruhani dan berbeda dengan sifat lahir, dan mengandung pengertian jati diri yang merupakan potensi untuk mengenal,mengetahui dan mengerti tentang sesuatu. Hanya hati nurani yang sucilah yang dapat berdialog dengan Dzat yang maha halus. Untuk mendapatkan kesucian hati maka kita selalu menyebut Asma-Nya.

Allah sangat senang pada hambanya yang selalu menyebut Asma-Nya maka Dia tidak sungkan sungkan untuk memberi petunjuk serta membimbing hambanya ke jalan yang benar.

Pada ayat lain Allah menerangkan kepada umat manusia tentang betapa pentingnya menjaga diri, sehingga kita selalu dekat dan mendapat petunjuk dari-Nya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Maidah : “ Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…”
( QS.5 : 105 ).

Kesungguhan hati manusia untuk mengenal dirinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan maka hakekatnya dia telah mengenal Sang Penciptanya, sebagaimana Rasulullah Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Barang siapa dengan bersungguh- sungguh mengenal dirinya, maka hakekatnya dia telah mengenal Tuhannya “.

Mudah-mudahan kita temasuk hamba-hamba Allah yang selalu mengenal diri agar kita terlepas dari hawa nafsu duniawi yang penuh tipu muslihat. Amin.